Entah
kenapa setiap gue mendapatkan pertanyaan, “Kerja di mana?” lalu
menjawabnya dengan,”Kerja di rumah,” gue selalu memperoleh senyum
sumringah di wajah orang yang bertanya tersebut bonus komentar
pendek,”Enak ya..” Sepertinya sebuah kata pendek itu juga yang
menjadi alasan gue melakukan ini sekitar 2 tahun yang lalu.
Bayangkan
kita bisa memiliki 3-4 atau bahkan 5 jam tambahan dalam sehari yang
sebelumnya kita harus gunakan menerobos belantara kemacetan kota
untuk pergi dan pulang kantor menjadi jam kerja tambahan, jam tidur
tambahan atau jam main tambahan. Bayangkan jumlah jam tambahan yang
kita bisa peroleh dalam 1 bulan.
Koneksi
WiFi stabil 5Mbps unlimited, makan-minum relatif murah dan lokasi
rumah di tengah Kota Jakarta. Fasilitas-fasilitas “mewah”
tersebut membuat istilah “kerja dari rumah” bertambah
kenikmatannya karena gue tau ada sebagian orang yang bekerja dari
rumah untuk menghindari kemacetan dan stress yang ditimbulkannya
namun hanya memiliki tambahan 1 atau maximal 2 dari 3 fasilitas
“mewah” yang sebelumnya gue sebutin.
Tantangan
justru datang dari diri sendiri dan orang-orang yang tinggal serumah.
Kita harus memastikan diri kita tetap produktif meski posisi kasur
hanya berjarak beberapa meter dari tempat kita duduk bekerja. Dan
karena tempat kita bekerja itu sejatinya adalah rumah dan bukan
kantor maka bersiaplah untuk melihat atau mendengar
aktivitas-aktivitas santai orang-orang yang tinggal serumah yang
bukan tidak mungkin dapat mengganggu konsentrasi kerja kita. Jika
kita masih tinggal bersama orang tua maka bersiaplah untuk
menjelaskan pekerjaan kita dan (secepatnya) menunjukan uang hasil
kerja di rumah itu atau mereka akan menganggap kita hanya
bermalas-malasan di rumah.
gambar via bursakerjaabdya.com
No comments:
Post a Comment