Friday, April 18, 2014

Selamat Memperingati Paskah!

Hello Chocotalkers!

Wah, hari minggu sebentar lagi.. Minggu ini hari Paskah ya?

Habis googling tentang ucapan selamat paskah, nih. Yup, yang dalam bahasa Inggris sering terdengar dalam 2 versi. Itu, lo! "Happy easter!" dan "Happy passover!". Hm.. Kalian punya opini apa, nih, untuk topic ini? :)

Well, ternyata ada sedikit berbedaan cara pandang, ya. :) Tapi tidak apa-apa. Saya merasa hal ini tetap ada faedahnya. Apa itu?

Pertama, kita telusuri dulu yuk, tentang arti dari nama-nama itu.

'Easter' berasal dari nama dewi Isthar (dari Sumeria) atau dewi Eostre/ Astarte (dari Teutonik). “Easter” digunakan di Inggris, “Eastur” di bahasa Jerman kuno, sebagai kata lain musim semi.

Sedang di negara- negara lain, digunakan istilah yang berbeda: “Pascha” (bahasa Latin dan Yunani), ” Pasqua” (Italia), “Pascua” (Spanyol), “Paschen” (Belanda), …dst yang semua berasal dari kata Ibrani (“Pesach”) yang artinya “melewati” (lihat kamus alkitab). Inilah yang dimaksud "passover".

Okay... Kalau mengacu pada arti kata yang sebenarnya, saya setuju dengan "Happy passover!" dong.

Peristiwa paskah yang dilakukan Yesus di salib menunjukkan makna yang sama dengan yang terjadi pada bangsa Israel dalam kitab Keluaran 12, yaitu pembebasan bagi yang percaya kepada karya penebusan Tuhan. Namun tentunya, penebusan yang rela dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri merupakan penyempurnaan, karena sesudah Yesus menang atas maut, tidak ada lagi korban yang diperlukan untuk mengambil darah penebusan (seperti yang dibubuhkan bangsa Israel di tiang pintu).

Nah, entah bagaimana dulu terjadinya, sepertinya istilah easter yang dikaitkan dengan musim semi, atau timur di mana matahari terbit, atau ada yang mengkaitkan dengan legenda bangsa Yunani yaitu dewi Ishtar, memiliki peristiwa yang dipaspasin supaya mirip.

Bisa saja dulu misionaris menganalogikan paskah dengan itu semua dalam rangka memperkenalkan paskah. Seperti telur paskah yang dimaknai sebagai awal kehidupan. Padahal, itu semua tentu bukanlah pengajaran tentang paskah yang sebenarnya.

Tapi seperti yang saya katakan tadi, hal ini (yaitu mengupas ataupun mempersoalkan atau mendiskusikan, mana sih istilah yang betul) tetap ada faedahnya. Yaitu menyebabkan makin diperdengarkannya kasih Tuhan, yang mengadakan paskah bagi umat manusia.

Yup. Bagi orang-orang yang tidak mempermasalahkan namun sudah paham mengenai perayaan paskah sesuai firman Tuhan sih, it's OK. Tapi toh belum tentu pula yang tahu itu bicara (apalagi secara jelas?) kepada yang belum tahu, kan? Nah, sering kali, hal-hal sepele seperti protes kecil kecilan itu justru jadi media tersebarnya berita tentang Tuhan. Bahkan jadi alat pemicu seseorang jadi concern akan kebenaran.

Sebetulnya saya pribadi sih termasuk yang tidak mempermasalahkan istilah-istilah itu. :D Iya, itu karena saya rasa, yang lebih penting untuk dimengerti itu sejarahnya. Bahwa setelah Yesus disalib lalu wafat, pada hari ketiga Ia bangkit dan menang atas dosa. Itu yang dimaksud dengan passover.

Well, dengan memposting ini, saya berusaha memperjelas sedikit tentang fakta paskah yang sebenarnya. Sekaligus kenapa sampai dihubungkan dengan hal yang tidak ada hubungannya dengan pengorbanan dan kebangkitan Yesus.

Jadi Chocotalkers, jangan beranggapan merayakan paskah harus dengan menghias telur atau ilustrasi kelinci lagi, yaa.. Karena itu sudah bukan inti dari paskah sesungguhnya.. ;)

Happy passover, Chocotalkers! Bahkan ingatlah tentang kemenangan Kristus setiap saat, bukan hanya pas hari paskah saja! :)

Wednesday, April 9, 2014

Seri Kisah Pengusaha: Sejarah Taksi Blue Bird (Bagian 1)


Gara-gara banjir, suatu hari gw terjebak kemacetan di Jl Mampang Prapatan dalam perjalanan menuju kantor. Daripada menggerutu bete, gw iseng perhatiin situasi di sekitar. Lalu terlihatlah pool Blue Bird yang sebenernya sering gw lewatin, tapi sebelumnya ngga pernah memunculkan inspirasi apa-apa. Entah kenapa di hari itu tiba-tiba muncul rasa penasaran, gimana sih sejarahnya perusahaan ini?

Gw termasuk pelanggan setia taksi Blue Bird, dan sejauh ini gw cukup puas dengan layanannya. Ngeliat Blue Bird yang jumlah armadanya terus bertambah, fasilitasnya cukup diperhatikan, dan ngga segan2 invest untuk teknologi baru (misalnya GPS, di jaman GPS belum booming seperti beberapa tahun terakhir), gw dulunya berasumsi kalau Blue Bird ini pasti dari awalnya didirikan dengan modal kuat didukung fasilitas lengkap. Maka itu dia bisa survive sekian lama dan tetap memimpin di dunia transportasi, khususnya layanan taksi. Sepengetahuan gw, pengemudi2 Blue Bird relatif lebih sejahtera atau mendapat imbalan yang lebih layak dibanding perusahaan taksi lain. Intinya, dari layanan mereka, pelanggan juga bisa merasakan kalau perusahaan ini dikelola dengan baik, sepenuh hati, dan nggak asal2-an.

Tapi, dengan fasilitas dan layanan ok itu, benarkah asumsi gw bahwa Blue Bird didirikan dengan 'mudah' didukung modal yang kuat? Uhmm.. setelah gw tanya2 mbah Gugel dan baca2 beberapa sumber yang keluar, barulah gw sadar ternyata asumsi gw keliru!

Blue Bird bukan didirikan pengusaha kaliber kakap dengan modal melimpah. Sebaliknya, berdirinya Blue Bird diprakarsai seorang wanita sederhana yang baru saja ditinggalkan suaminya yang wafat karena sakit. Wanita itu adalah almarhumah Ny. Mutiara Djokosoetono.

Bu Djoko lahir pada tanggal 17 Oktober 1921 di tengah keluarga berada, namun pada usia 5 tahun keluarganya bangkrut. Ia meniti bangku sekolah dalam kesederhanaan luar biasa. Makanan yang tak pernah cukup, pakaian seadanya, tak pernah ada uang jajan. Hidupnya betul-betul bertumpu pada kekuatan untuk tabah. Menginjak remaja ketegarannya semakin terasah. Ia pun bertekad memperkaya diri dengan ilmu dan kepintaran. Di saat sulit itu ia suka membaca kisah-kisah inspiratif yang ia peroleh dengan meminjam, salah satunya adalah kisah legendaris yang selalu menghiburnya: 'Kisah Burung Biru' atau 'The Bird of Happiness'.

Usai menyelesaikan pendidikan HBS dan lulus Sekolah Guru Belanda, Bu Djoko memutuskan merantau ke Jakarta dan berhasil masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kemudian jalan hidup mempertemukannya dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya, sekaligus pendiri serta Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Mereka menikah ketika Bu Djoko masih kuliah.

Bu Djoko dikaruniai 3 anak yaitu Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro. Sepanjang dasawarsa 50-an, Bu Djoko menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Ia dan keluarganya menempati rumah dinas atas pekerjaan suaminya di kawasan Menteng. Walau dikelilingi lingkungan yang mewah dengan status ekonomi di atas rata-rata, keluarga Djokosoetono praktis hanya memiliki uang kebutuhan berjalan. 

Untuk menambah penghasilan keluarga, Bu Djoko berjualan batik door to door. Tak ada gengsi, tak ada malu, tak ada rasa takut direndahkan oleh sesama isteri pejabat tinggi. Semuanya dilakukan murni sebagai kepedulian isteri untuk membantu suami mencari nafkah. Namun penjualan batik yang sempat sukses kemudian menurun. Bu Djoko pun berganti haluan menjadi penjual telur. Saat itu telur belum sepopuler sekarang dan dianggap bahan makanan eksklusif yang hanya dikonsumsi orang-orang menengah ke atas. Bu Djoko mencari pemasok telur terbaik di Kebumen dan perlahan-lahan usaha telur Bu Djoko dan keluarga terus meningkat. 

Akan tetapi, kegembiraan atas keberhasilan usaha ini tidak berlangsung lama, karena kesedihan memikirkan sakit Pak Djoko yang tak kunjung sembuh. Walau mendapat perawatan yang ditunjang sepenuhnya oleh pemerintah, akhirnya beliau wafat pada tanggal 6 September 1965.

Bagaimana Bu Djoko menghadapi masa sulit ini dan akhirnya mendirikan layanan taksi Blue Bird? Nantikan di entry berikutnya, ya..

Friday, April 4, 2014

Marketing 3.0 di Khotbah Minggu

Cuma teringat lagi khotbah di gereja minggu terakhir kemarin. Jadi saat itu khotbah yang dibawakan mengenai Tuhan Melihat Hati.

Dalam kesempatan itu, pendeta yang membawa firman mengulik sedikit tentang marketing 3.0.

Apa itu marketing 3.0? Saya bertanya dalam hati. Entah baru dengar atau dulu sudah, tapi lalu lupa. :D

Ternyata setelah googling, kira-kira inti dari marketing 3.0 itu, dilakukan berdasarkan nilai-nilai universal, seperti kasih dan ketulusan. Jadi fokus perusahaan tidak hanya menjual produk, tidak juga hanya memuaskan dan membuat konsumen loyal. Lebih dari itu, membuat dunia menjadi lebih baik. Perusahaan melihat konsumen sudah secara holistic; tidak sekedar fisik, ataupun emosi dan rasio, namun keseluruhan; mind, body, spirit. Begitu kira-kira, yang berhasil saya cek.

Namun Chocotalker, kita ngga hanya penting mengetahuinya, ya. Sebagai mahluk sosial dan mungkin juga bersemangat entrepreneur, nilai-nilai itu tentu penting untuk diterapkan, karena tentunya mendukung hubungan baik kita dengan sesama dan juga diri kita sendiri. Iya.. dengan diri kita, karena dengan demikian kita akan bersikap tulus terhadap orang lain, sebagaimana terhadap diri sendiri. Jadi dalam berbisnis kita ngga men-set up pikiran dengan pola “yang penting gue untung, ngga peduli orang lain”. ;)

Sekedar teringat, dulu waktu saya masih SD, saya tertarik dengan supermarket. Kenapa? Dunia rasanya praktis. Tidak perlu lagi interaksi yang penuh basa basi. Barang tinggal ambil, bayar, lalu pulang. Begitu juga kalau saya yang jadi kasir, tinggal hitung, terima uang, bungkus barang konsumen, selesai. Hehe… Efek dari rasa malu atau terlalu membatasi diri dari pergaulan? *nyengir*

Yang jelas, makin ke sini saya makin sadar, mau setertib apapun sistem yang dibuat, tetap perlu pakai hati. Toleransi. Keikhlasan. Bentuk paling sederhana yang mudah diterapkan adalah senyum, meskipun pada orang yang sepertinya tidak penting.

Akhirnya, mungkin karena materi itu mulanya dari pendeta, saya menyimpulkan sendiri: Marketing 3.0 baru sukses diterapkan kalau manusia melakukannya setulus melakukan untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Gimana menurut kalian, Chocotalker? Tulis pendapat kalian di kolom comment yaa.. Thank you ;)