Monday, November 11, 2013

Orang dari Luar Kota


Lama juga, ya, ngga posting di sini. Hehe… Apa kabarnya, chocotalker?

Jadi, beberapa minggu lalu, saya dan ibu saya memutuskan kebaktian ke GKI Kebayoran. Tadinya rencana ke gereja tersebut juga gara-gara terlambat kalau ke gereja yang lebih dekat. :D

Di tengah perjalanan naiklah dua orang ke dalam bis. Dan dengan sopan mereka bertanya, “Mau ke gereja, ya?” Singkat cerita, akhirnya mereka ikut ke gereja tujuan kami. Iya, hal ini di luar rencana kami, tentu.

Mereka bukan dari Jakarta, dan tidak tahu di mana gereja yang belum mulai kebaktian. Sepanjang perjalanan setelah turun dari kendaraan, mereka bercerita tentang gereja di tempat asal mereka, Papua. Pembicaraan terasa wajar-wajar saja. Saya jadi teringat beberapa pertemuan yang terjadi secara kebetulan seperti tadi.

Seperti ketika seorang perempuan, kurang lebih usianya sama dengan saya datang dari Batam, dengan ramahnya dia lebih dahulu membuka pembicaraan. Tidak lama kami bisa segera bercakap-cakap tentang hal yang melintas di kepala. Cerita tentang kegiatan dia sendiri, tanpa kesan menyelubungi identitas layaknya orang tidak percaya lawan bicaranya. Padahal kami baru saja ketemu.

Saya sebetulnya menyadari sifat saya yang tertutup yang juga sudah lebih dulu merajai. Namun rupanya ada ide untuk menaklukan sifat ‘tidak mau tahu orang lain’ meski dalam hati merasa diingatkan, bahwa kami baru saja kenal. Saya tidak ingin terlalu asik dengan diri sendiri juga. Siapa yang tahu waktunya harus mengalahkan ego? Kesempatan itu membuat saya berpikir, mungkin temperamen saya yang sebagian juga extrovert, mengizinkan kemungkinan itu. Mungkin juga tuntutan pekerjaan untuk bertemu orang-orang yang sudah membiasakan. Saya merasa senang bertemu orang yang jujur, tulus dan tidak ‘akal-akalan’, di samping juga tetap merasa perlu untuk mengamati.

Jam ibadah selesai, akhirnya kami berpisah dengan saling memberikan salam. Mereka hendak bertemu teman mereka di tempat lain, dan saya pulang bersama ibu saya. Melihat mereka melangkah semakin jauh di depan, sambil ngobrol mengenai apa yang baru saja kami alami, saya membayangkan seandainya diri saya ada di posisi mereka.

Seringkali yang diperlukan untuk mengalahkan rasa takut; takut ditolak, takut tidak dipercaya sebagai orang asing, atau rasa sungkan berpapasan dengan orang tidak dikenal, adalah menghadapi risiko. Mereka yang mendekati saya lebih dulu tampaknya orang-orang yang berkepribadian kuat. Mereka berasal dari luar kota ini, tapi justru lebih percaya diri. Mungkin saja ada sifat pemalu yang mereka kalahkan dahulu demi mencari tahu di mana gereja yang mereka cari-cari.

Bepergian bisa jadi merupakan cara keluar dari persembunyian yang nyaman.

*Image courtesy of http://theresecharles.com

Sunday, October 6, 2013

To Break The Rules..

Tidak sedikit dari kita yang sejak kecil dididik untuk mengikuti aturan-aturan yang ada tanpa diajak berpikir tujuan dari menaati peraturan tersebut. Ketika banyak orang terlihat seragam maka sebagian orang yang berani melanggar aturan tersebut jadi terlihat lebih menarik dibandingkan dengan orang yang terus menerus mengikuti aturan. Iya, sebagian hanya bermodal keberanian.

Beberapa hari lalu ketika berkunjung ke kantor sebuah majalah, sang pemimpin redaksi memberikan saya 2 buah majalah jam tangan mewah. Sore tadi saya membuka salah satu majalah tersebut dan menemukan sebuah iklan yang menarik perhatian.


"To break the rules, you must first master them."

Langgarlah aturan hanya jika kita sudah benar-benar mengerti apa tujuan aturan tersebut dibuat, untuk apa kita perlu melanggarnya dan konsekuensi yang mungkin akan kita hadapi. Kenapa? Untuk meningkatkan statistik kemungkinan berhasil tersebut Orang yang berani melanggar aturan mungkin saja berhasil. Mereka tidak ubahnya seperti anak SMU yang sedang sembunyi-sembunyi merokok.

Saturday, September 28, 2013

Memilih Ukuran Layar Ponsel dan Tablet


Beberapa tahun terakhir kita disajikan dengan begitu banyak ponsel baru dengan berbagai macam ukuran layar mulai dari 3.0-inch sampai dengan 6.3-inch. Di tengah-tengah kedua ukuran tersebut ada belasan kalau bukan puluhan ukuran layar lainnya yang tersedia. Tidak sedikit dari kita yang justru jadi bingung dihadapkan dengan hal ini ketika kita ingin membeli ponsel baru. Paradox of choices - semakin banyak pilihan justru membuat kita jadi semakin bingung.

Ada 1 prinsip sederhana yang saya pegang dalam hal ini : Pilih ukuran ponsel terbesar yang masih dapat kita gunakan untuk mengetik dengan jari dari tangan yang memegang ponsel tersebut.

Ukuran telapak tangan setiap orang mungkin berbeda. Buat saya pribadi ukuran ponsel 5-inch lah yang memenuhi prinsip tersebut. Lain halnya dengan partner saya yang hanya 4.5-inch. Oleh karena itu saya selalu meminta teman-teman yang berkonsultasi tentang ponsel baru untuk sesekali datang ke galeri atau toko retail yang menyediakan (banyak) ukuran ponsel berbeda atau setidaknya dummy dari ponsel yang dapat kita coba tanpa harus membeli.

Sebuah perangkat biasa disebut tablet saat ukurannya mencapai minimal 7.0-inch dan maximal 10.1-inch. Kendati perangkat berukuran 7.0-inch atau lebih tersebut dapat kita gunakan untuk melakukan panggilan telepon dan SMS, orang biasa tetap menyebut mereka tablet dan bukan ponsel lagi.

Tablet dengan ukuran 8.0-inch atau lebih kecil umumnya dapat digenggam dengan salah satu telapak tangan meski untuk mengetik tentu kita tetap harus menggunakan kedua tangan. Kepraktisan inilah yang membuat tablet dengan ukuran 8.0-inch atau lebih kecil jadi populer akhir-akhir ini.

Saya pribadi lebih memilih tablet dengan ukuran  besar untuk lebih memudahkan saya menunjukan suatu ide (baca : presentasi) ke calon klien dibandingkan dengan ukurang layar lebih kecil namun tanpa perlu repot menyiapkan proyektor atau membawa laptop yang lebih berat. Selain itu ketika malam tiba orang tua saya dapat menonton Youtube lebih nyaman di tablet dengan ukuran besar itu sambil saya menyelesaikan pekerjaan di laptop.

Friday, September 27, 2013

Jam Belajar Se-DKI


Haloo Chocotalker... Ngomongin yang sekarang lagi ngetren, yuk? Ngga terlalu ngetren, si.. Mungkin cenderung terlalu biasa dilihat dari kasusnya. Persoalan pendisiplinan anak gitu.. Cuma yang bikin saya kagum, gubernur DKI mau gitu, peduli anak orang lain. Urusan yang sering dianggap tanggungjawab ibu-ibu, pulak! Bah...  Keren kali bapak nii.. :))

Saya setuju dengan istilah ini: 'Jam Belajar', bukan 'Pembatasan Jam Malam' bagi siswa. Karena pemberitaannya yang tidak lama sesudah kasus tabrakan di Tol Jagorawi oleh anak di bawah umur itu, saya sempat menyangka ' pembatasan jam malam' itu adalah upaya mencegah kejadian itu terulang. Padahal mengekang anak hanya akan membuatnya memberontak. Betul ngga si, Chocotalker?

Sementara itu, koreksi menjadi 'jam belajar' pada kesempatan bincang bincang di Kompas tv tadi, memberi pencerahan sekaligus penjelasan. Ternyata itu memang rencana lama Pak Jokowi untuk membiasakan siswa belajar, dan mengurangi konsumsi jam nonton tv. Mmm... M'batasin tontonan seperti sinetron sinetron yang ngga banget, mungkin ya. (Kecuali acaranya Sarah Sechan jam 19.00 di Net tv, karena saya suka! Haha..). Ngga tanggung tanggung, Kompas tv juga meliput pemberlakuan itu di suatu daerah di Jogja, yang sudah sukses selama 10 tahun! Betul betul contoh! Apakah Jakarta bisa, ya?

Narasumber dari dinas pendidikan tadi juga menjelaskan bahwa, untuk belajar sebetulnya bisa saja dilakukan di tempat lain seperti tempat les. Nggak harus di rumah, asal diketahui orangtua dan masyarakat, dan yang jelas bukan kegiatan lain seperti nongkrong, misalnya... Dari situ saja sudah terbaca, rencana tersebut mengharapkan keterlibatan seluruh lapisan masyarakat termasuk tetangga dan kaum muda.
Hm... Bagi sebagian orang Jakarta yang cenderung individualis, apakah rencana tersebut ngga akan tersendat sendat, ya? Secara orang bisa saja beralasan sibuk untuk tidak ikut campur urusan orang lain, kan? Tapi entahlah. Bukankah orang Jakarta itu banyak juga yang perantau dari desa? Alias banyak juga yang suka membaur, peduli sama kepentingan orang lain tanpa pamrih? Entah. Kita lihat saja. Toh rencana ini masih digodok pula. Semoga hasil akhir yang terbaik. :D

Nah... Chocotalker, secara sepintas yang juga kepikir oleh saya malah begini: bagi yang lagi mendambakan momongan mungkin seperti mendapatkan solusi. Konon, mengasuh anak kecil seperti anak sendiri, katakanlah dalam hal ini mungkin keponakan yang masih kelas 1 SD, yang orangtuanya terlalu sibuk sering pulang malam, bisa buat 'pancingan'. Eh, jangan salah... Bukannya kita sering dengar istilah itu? Meskipun saya sih ngga percaya prinsip itu. Entah ide siapa itu asalnya. Percaya pada kehendak Tuhan saja deh..! Hehe.. Saya lebih percaya, itu kesempatan membiasakan diri jadi orangtua yang baik dan bertanggungjawab buat si anak nanti. Hehehe....

Ok.

Semestinya, dipublikasikannya gagasan ini mampu menyentuh hati para orangtua yang selalu kekurangan waktu dan terutama minat, untuk lebih memberi perhatian pada anak. Jangan hanya senang pas lihat anak anteng, padahal ngga tau apa yang sedang si anak pikirkan atau lakukan. Orangtua harus berusaha terus berkomunikasi dan memberikan yang memang dibutuhkan anak, yang berkualitas dan proporsional. Karena hubungan yang baik dan penuh kasih pada generasi penerus, dipercaya merupakan cara, agar anak itu juga mengasihi dirinya dengan bertanggungjawab. Duuh.. teorinya.. *Bhahak!*
...

Terakhir nih... Ngomong ngomong, waktu masih dibicarakan sebagai 'pembatasan jam malam bagi siswa'... Saking merasa bahwa praktis itu adalah pengekangan anak (karena ngga semua anak bersikap gegabah atau over nekat) dan menganggap itu cuma sikap orang dewasa yang maunya praktis aja, yang saya ingat malah film remaja arahan Jack Neo (Singapura), We Not Naughty. Jadi sebagian cerita itu berisi tentang anak yang anteng di kamarnya. Ngga keluyuran. Lepas dari pantauan orangtua. Akhirnya? Si anak bebas mengakses internet, mempermalukan teman sekolahnya dengan situs jejaring sosial. Temannya itu hampir mati karena melakukan bunuh diri. Akhirnya orangtua baru sadar ketika kamar si anak digeledah polisi, dan perangkat komputer disita.
Nah, jelas, kan... tugas jadi orangtua itu ngga boleh dianggap enteng... karena ternyata betah di rumahpun belum tentu ok ok saja. Begitu juga tugas sebagai siswa, mahasiswa, anak dll jangan 'gimana entar', tapi 'entar gimana'... :)

Tetap semangat, Chocotalker! God bless us! :)

Image courtesy of: http://lifecoachdenise.co.za/blog/

Monday, September 23, 2013

Midlife Crisis: From Fear to Relief (sambungan)


Yuk kita lanjutin lagi obrolan soal midlife crisis.. Hehehe.. Di posting sebelumnya udah gue share sedikit gimana encounter gue dengan wacana midlife crisis ini, yaitu lewat percakapan dengan teman gue, dan dari situlah gue baru sadar sepertinya gue juga sedang berada dalam fase itu..

Gue ngga pengen terlalu berteori, tapi midlife crisis ini kurang lebih adalah fase ketika seseorang mempertanyakan kembali tentang beberapa hal penting dalam hidup, seperti tentang pencapaiannya, tingkat kepuasan hidup (apakah ia merasa cukup puas dengan apa yang sudah dicapai sepanjang hidupnya, atau sebaliknya ada semacam rasa frustrasi karena ada hal-hal dalam hidup yang dirasa belum sesuai harapan)..

Dalam hidup gue sendiri, gue merasa banyak hal yang belum berhasil gue capai, dan yah perasaan-perasaan seperti kesepian karena banyak teman yang sudah berkeluarga dsb itu pasti ada. Hal-hal yang dulunya sangat menarik bagi gue, sebagian ngga terasa terlalu menarik lagi. Sebenernya ini berhubungan juga dengan beberapa perubahan seperti saat gue lahir baru dan gue sedikit banyak 'dipalingkan' dari pola hidup gue yang lama. Selain itu juga faktor pekerjaan yang menuntut gue mengadakan penyesuaian-penyesuaian, termasuk adanya 'generation gap'.

Bagaimana pun, walau ada kondisi yang mungkin terasa kurang nyaman, gue mencoba untuk 'menyerap' hal-hal baru atau sesuatu yang bisa gue pelajari dari sekitar gue. Gue pikir itu semua adalah batu-batu loncatan yang membantu gue untuk mendekatkan pada kehidupan yang gue inginkan.

Gue memang jadi lebih banyak merenungkan tentang arah hidup gue, tapi semakin gue baca-baca tentang midlife crisis, sepertinya sih gue masih tahap dini, dalam arti mungkin ini adalah fase ketika gue harus melakukan sejumlah penyesuaian (adjustment) aja.. dan somehow gue pikir ada baiknya gue aware akan hal ini sejak sekarang, karena terus-terang aja sejak muda dan fisik masih kuat, people tend to take for granted apa yang dimiliki atau hal-hal yang dapat dilakukan.. nyatanya fisik terus menua dan hal-hal yang dulu mudah dilakukan saat masih muda (contohnya mengerjakan tugas sampai larut malam bahkan sampai pagi, makan tidak teratur, dsb tanpa efek samping yang berarti), mungkin ngga semudah itu lagi waktu kita semakin tua..

Jadi ini saatnya untuk lebih mawas diri juga dan mengembangkan kebiasaan atau pola hidup yang lebih sehat, dan menata hidup lebih baik lagi..

*Image courtesy of http://footage.shutterstock.com

Sunday, September 22, 2013

Kerja dari Rumah


Entah kenapa setiap gue mendapatkan pertanyaan, “Kerja di mana?” lalu menjawabnya dengan,”Kerja di rumah,” gue selalu memperoleh senyum sumringah di wajah orang yang bertanya tersebut bonus komentar pendek,”Enak ya..” Sepertinya sebuah kata pendek itu juga yang menjadi alasan gue melakukan ini sekitar 2 tahun yang lalu.

Bayangkan kita bisa memiliki 3-4 atau bahkan 5 jam tambahan dalam sehari yang sebelumnya kita harus gunakan menerobos belantara kemacetan kota untuk pergi dan pulang kantor menjadi jam kerja tambahan, jam tidur tambahan atau jam main tambahan. Bayangkan jumlah jam tambahan yang kita bisa peroleh dalam 1 bulan.

Koneksi WiFi stabil 5Mbps unlimited, makan-minum relatif murah dan lokasi rumah di tengah Kota Jakarta. Fasilitas-fasilitas “mewah” tersebut membuat istilah “kerja dari rumah” bertambah kenikmatannya karena gue tau ada sebagian orang yang bekerja dari rumah untuk menghindari kemacetan dan stress yang ditimbulkannya namun hanya memiliki tambahan 1 atau maximal 2 dari 3 fasilitas “mewah” yang sebelumnya gue sebutin.

Tantangan justru datang dari diri sendiri dan orang-orang yang tinggal serumah. Kita harus memastikan diri kita tetap produktif meski posisi kasur hanya berjarak beberapa meter dari tempat kita duduk bekerja. Dan karena tempat kita bekerja itu sejatinya adalah rumah dan bukan kantor maka bersiaplah untuk melihat atau mendengar aktivitas-aktivitas santai orang-orang yang tinggal serumah yang bukan tidak mungkin dapat mengganggu konsentrasi kerja kita. Jika kita masih tinggal bersama orang tua maka bersiaplah untuk menjelaskan pekerjaan kita dan (secepatnya) menunjukan uang hasil kerja di rumah itu atau mereka akan menganggap kita hanya bermalas-malasan di rumah.

Gue kerja dari rumah itu karena usaha yang gue rintis hingga saat ini masih belum mampu untuk sewa atau beli kantor sendiri dan bukan merupakan suatu tujuan akhir seperti yang diidamkan banyak pegawai kantor dengan kemeja berdasi yang 3-4 jam/hari frustasi akan kesemrawutan lalu lintas kota.

gambar via bursakerjaabdya.com

Tuesday, September 17, 2013

Midlife Crisis: From Fear to Relief

Hallo chocotalker.. Apa kabar?

Udah kangen nulis di sini, tapi apa daya kesibukan pekerjaan membuat gue harus sedikit jumpalitan untuk cari waktu nulis lagi *lebay* *serasa sekretaris presiden*

Hehehe.. sebetulnya kesibukan gue nggak separah itu sih.. hanya gue memang membatasi penggunaan komputer di kantor aja dan kalo udah pulang ke rumah, paling hanya internetan sebentar nonton youtube atau cek-cek info.. Yah, pegel juga soalnya, gue di kantor rata-rata dari jam 8.30 - 19.00, kerjanya cuma duduukkk aja di depan kompi (kecuali pas makan siang dan pas wira-wiri ke pantry/toilet).. So, kalo di rumah masih kudu manteng kompi lagi bisa-bisa muka eike jadi kotak haizz.. >.<

Hohoho cukup dulu ya ngelanturnya.. Back to topic, udah lama pengen ngebahas midlife crisis ini, dan sebenernya pengen posting panjang lebarr soal itu, dan itu juga sebabnya kenapa ketunda, karena gak kepengen lagi asyik-asyik nulis harus terputus.. walau pada akhirnya, mungkin tetap harus 'bersambung' *sigh*

Pertama denger teman ngebahas yang namanya midlife crisis, jujur aja degg kaget juga.. karena di saat itu, untuk pertama kalinya gue baru ngitung kalo umuran gue ini ya udah umuran paruh baya (dengan asumsi kasar life expectancy di usia 80-an.. bayanginn udah termasuk umur panjang ya itu 80, kalau 70, ya berarti usia paruh baya gue udah lewat :D)

Ya, gue kaget karena selama ini ngga pernah kepikiran sama sekali ke arah sana, dan sebelumnya ngebayangin kalau orang yang disebut paruh baya itu umurnya 50-an (dari mana juga ya angka 50 itu, secara yang umurnya sampai 100 kan jarang, ya..)

Jadi, asal-muasalnya gue dan teman gue ngebahas soal midlife crisis ini tuh pas gue sama dia lagi chatting, ngomongin tentang teman kita yang lain, yang sepertinya lagi kena midlife crisis.. dan setelah ngobrol-ngobrol lebih lanjut, rasa-rasanya, problem si teman lain ini kok mirip-mirip ya sama gue.. Beda case sih, pasti, tapi yah kita di fase yang mirip..

Toengg.. baru lah gue 'tercelikkan' soal kegelisahan gue selama ini.. Boleh dibilang ngga ada masalah besar yang pelik banget dalam hidup gue, tapi yahh ada beberapa issue yang membuat gue rasanya struggling banget.. Gue bahkan suka galau sendiri wondering why I sometimes feel so miserable about my life..

Akhirnya kegalauan gue sedikit terjawab lewat percakapan sore itu.. Gue seperti mendapat kelegaan waktu gue dan teman gue ngebahas lebih lanjut soal 'kesepian'.. Gue waktu itu sempat komentar tentang usahanya si X (teman kita yang lain itu), yang masih terus berkembang.. saat itu, gue pikir X should be fine, karena dia toh punya 'sesuatu' yang dia bangun dan kembangkan, perhaps it can give him a sense of fulfilment, kira-kira begitu.. then teman chatting gue itu langsung menyergah, 'What does it (his business) have to do with loneliness?'

Degg.. waktu teman gue bilang gitu, gue merasakan ada sesuatu yang beresonansi di lubuk hati gue yang terdalam *halah* When it comes to find the meaning of life (maksudnya merasakan hidup ini bermakna), achievement and relationship are two different things.. When we feel empty and lonely dalam hal relationship, kesibukan atau achievement mungkin bisa membuat kita melupakannya untuk sesaat, tapi nggak serta merta mengisi kekosongan itu..

Jadi, apa sih sebenernya midlife crisis itu?

Berhubung (lagi-lagi) masalah waktu, posting ini harus gue lanjutin next time.. so kita obrolin lagi di posting selanjutnya, ya..

*Image courtesy of http://practicallyenlightenedyou.com


Wednesday, September 11, 2013

Branding 101 : Apple



Apple baru aja rilis iPhone 5s. Seperti biasa, ponsel penerus iPhone 5 ini langsung menjadi bahan pembicaraan di berbagai media sepanjang hari. Salah satu fitur yang dianggap inovatif dan paling banyak dibahas adalah TouchID, sebuah sensor sidik jari yang dapat digunakan untuk login ke dalam ponsel dan otorisasi pembelian di Apple App Store tanpa perlu lagi memasukan passcode seperti biasa.

Tidak banyak orang yang tahu Motorola pernah merilis ponsel Android dengan sensor sidik jari pada tahun 2011.

Apple meperkenalkan iMac baru pada Oktober 2012 setelah lama sekali tidak ada update pada komputer desktop all-in-one legendaris tersebut. Selain fisiknya terlihat menjadi sangat tipis karena tidak lagi menggunakan DVD drive, iMac baru saat itu menawarkan teknologi Fusion Drive yang saat itu ramai dibicarakan orang sebagai suatu inovasi yang keren. Fusion Drive adalah teknologi di mana dalam sebuah komputer terdapat 2 media penyimpanan berbeda yakni flash storage yang terkenal akan kecepatannya namun harganya mahal dengan hard disk biasa yang harganya murah namun tidak secepat flash storage.

Januari 2010 Lenovo pernah merilis komputer dengan teknologi sejenis yang diberi nama Rapid Drive. Tidak banyak orang atau media yang membahasnya.

Kamu punya dana Rp15 juta untuk beli laptop lalu datang ke pameran komputer. Di sana kamu ketemu berbagai macam merek laptop dan tipe. Pernah ngerasa sayang dengan dana Rp15 juta kalo engga beli MacBook Pro atau MacBook Air?

Tahu ga kenapa itu semua bisa sering kejadian di Apple tapi jarang terjadi di merek lain? Jawabannya adalah branding. Mereka yang bekerja di Apple, Inc. terus berpikir dan bekerja keras mengasosiasikan merek Apple dengan sebuah kata “inovatif”. Iya, jawabannya sesederhana itu. Hanya mewujudkan jawaban tersebut yang butuh waktu belasan, puluhan tahun atau bahkan seumur hidup.

Kamu punya usaha kecil-kecilan ato jadi freelancer?

Coba cari 1 kata atau 1 frase yang dapat kamu asosiasikan dengan merek usaha kamu atau dengan nama kamu jika kamu adalah freelancer. Kata atau frase tersebut adalah suatu nilai yang membawa manfaat bagi konsumen/klien yang akan terus kamu perjuangkan sepanjang usahamu ada. Mungkin kamu butuh waktu 1-2 minggu atau bahkan lebih untuk mendapatkan kata/frase yang pas, itu wajar. Setelah dapat kemudian catat lalu komunikasikan ke tim (jika ada) secara rutin.

Ngapain sih mesti capek-capek bikin aneh-aneh gituan segala? Silakan baca lagi artikel ini dari paragraf pertama..

Wednesday, September 4, 2013

If You Could See Inside

Selama lebih kurang 3 minggu gue dan partner pernah merawat 4 ekor bayi kucing tanpa induk yang kami temukan dalam kardus di pinggir jalan. 2 ekor mati di samping rumah gue kemudian 2 ekor lagi saya bawa ke rumah partner untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik di sana. Setiap hari kami bekerja sama bergantian merawatnya bagai merawat bayi kami sendiri. Ketika bayi kucing terakhir yang kami rawat tersebut akhirnya mati, kami sangat terpukul.

Dalam perjalanan gue pulang ke rumah di malam hari kami kehilangan bayi kucing terakhir itu, angkot yang gue naikin berisi beberapa orang penumpang. Di tengah jalan gue nyimak sebuah pembicaraan ringan dari 2 penumpang yang adalah 2 lelaki paruh baya dalam angkot tersebut :

Penumpang 1 : “Tumben lu pulang malem-malem naek angkot!”
Penumpang 2 : “Iya, gue baru kehilangan (sepeda) motor..” *senyum kecil*

Ternyata hari itu bukan cuma gue yang lagi kehilangan.

Sadar ga dalam hidup sehari-hari kita sering merasa sebagai orang yang paling susah, orang yang paling menderita dan orang yang paling cupu di antara tetangga, teman kerja atau bahkan keluarga sendiri?

Kita sering ga inget kalo orang-orang di sekitar kita juga punya kesusahannya masing-masing. Berapa sering kita memaksa keinginan kita yang sedang sedih kepada orang lain hanya karena kita melihat mereka tidak sedang murung, karena kita melihat mereka sedang senyum, karena mereka kita sering melihat mereka tertawa?


Be kind. Everyone you meet is fighting a hard battle” - Plato

Monday, August 26, 2013

Apa Hobimu?


Haloo, chocotalker…

Yup, kita ngomongin hobi, yuuk… Mulai dari saya, yaa. Soalnya kalau dari kalian nanti saya kehabisan bahan. Oops.. hehehe. Jadi, gini. Tadi pagi saya mikir mikir sendiri, rasanya akhir akhir ini saya lagi suka banget nonton. Sudah beberapa minggu ini tiap ngembaliin disc di Video Ezy, saya pasti pinjam yang lain lagi. Pilihan saya sih film yang lama, yang waktu peminjamannya juga lama. Lumayan kan, ngga harus buru-buru ngembaliin. Hehee…. Nah, gara-gara waktu saya tersita banyak buat nonton, saya kepikiran buku buku saya.

Chocotalker pasti suka juga, dong, jalan jalan ke toko buku, terus merasa dikelilingi suasana yang menyegarkan gairah baca? Apalagi kalau kita ke sana karena memang ada buku yang sedang diincar.

"Eh.. Udah baca novel A, belum? Udah edar, lho.. di twitter udah dibahas." Atau…

"Udah baca buku tentang kesehatan ….., belum?"

Nah, dari woro woro di social media itu saya juga sudah membeli beberapa buku, yang ternyata belum sempat saya baca sampai sekarang. Buku buku yang belum terbaca itu sekarang saya simpan di box container supaya jangan dimakan hama. *hihi..* Sayang, doongg? Bukan (cuma) sayang uangnya, tapi juga isi dari buku itu. Ya, kan, chocotalker? (alasan, deh… padahal gara-gara gejala doyan belanja aja.. *ups*)

OK. Nah, terakhir nih, saya merasa sudah membengkalaikan hobi yang satu ini: blogging. Seperti yang saya tulis di sini ini, ini bisa terrealisasi gara-gara gagasan Ina saja. Wah.. Thanks ya, Na… Sempat loh, saya punya pikiran, bisa nggak yaa… nonton disambi sama baca plus nulis, gitu? Tanpa menganaktirikan hobi manapun? Bisa ngga, yaa? Coba, bisa.. hmm.. Alangkah indahnya…:))

Hobi yang lain? Rasanya belum ada. Masak? Sedikiitt. Dulu pernah tergiur bisa bikin cookies yang cantik dan lezat, tapi ternyata tak semudah itu… Dan karena sulitnya jadi jera di tengah jalan. Jahit menjahit? Belum sempat. Pingin juga bisa nekunin kedua hobi terakhir barusan. Iya, nyoba masak memasak lagi, meskipun ngga tekun tekun amat.

Yang pasti, kalau memang berguna dan menyenangkan diri kita (dan orang lain), kenapa ngga? Kan seperti yang kita tahu, aktivitas menyenangkan adalah terapi buat jiwa kita. Rasanya sayang kalau kita sampai lupa, bagaimana dulunya kita enjoy melakukan aktivitas semacam ini.

Gimana dengan kalian, chocotalker? Sharing, yuuk? ;)

*Image courtesy of http://footage.shutterstock.com

Sunday, August 18, 2013

Yuk, Nimbrung di Daily Choco Talk!


Hello chocotalker!

Selamat datang di Daily Choco Talk.

Gimana kabar chocotalker hari ini? Nggak kerasa, udah hari Senin lagi ya! Libur lebaran berakhir sudah, dan chocotalker yang tinggal di Jakarta, pasti ngerasain lalu lintas kembali macet seperti sebelum musim puasa dan lebaran.

Sabar ya, chocotalker. Yuk, kita semangat lagi menjalani aktivitas sehari-hari. Yang ART-nya belum kembali dari kampung halaman, pandai-pandai membagi waktu antara bekerja dan membereskan rumah, ya. Jangan terlalu memaksakan diri juga. Kalau memang chocotalker sibuk banget, sedikit menurunkan standar kebersihan dibanding biasanya, it won't do you harm juga, kan. Supaya chocotalker masih bisa menyimpan tenaga untuk kerja lagi esok harinya. OK?

O ya, chocotalker mungkin bertanya-tanya, apa itu Daily Choco Talk? Daily Choco Talk adalah blog bareng untuk sharing atau ngobrol tentang bermacam-macam topik, khususnya topik sehari-hari mulai dari soal relationship, enterpreneurship, spiritual, sampai hiburan atau update gadget.

Kenapa disebut Choco Talk? Intinya sih, kami di Daily Choco Talk pengen menyebarkan atmosfer positif dan menyenangkan, seperti cokelat yang rasanya manis dan enak. Di waktu-waktu tertentu, makan cokelat, atau minum secangkir cokelat panas, bisa jadi terapi yang menenangkan saat kita suntuk dan pikiran kusut.

Tapi, chocotalker mungkin berpikir, hidup kan ngga selalu enak dan manis? Ya, kami di sini juga nggak pingin muluk-muluk. Kami sadar kok, kalau kenyataan sehari-hari nggak selalu asyik dan menyenangkan. Dalam hidup kita masing-masing, akan selalu ada masalah. Hanya, kami percaya, segalanya bisa dijalani dengan lebih ringan, kalau kita sama-sama membangun atmosfer yang positif.

Kita bisa saling dukung untuk tidak fokus pada masalah, melainkan fokus untuk mencari solusi. Fokus pada hal-hal yang membangkitkan pengharapan, yang mendatangkan inspirasi-inspirasi baru, yang bisa mencerahkan mood dan pikiran yang lagi 'kelabu', dan juga pada hal-hal yang mendorong kita untuk selalu improve atau mengembangkan diri ke arah yang lebih baik.

Kira-kira, seperti itulah gambaran tentang Daily Choco Talk. Sekali lagi, selamat datang dan jangan segan-segan nimbrung lewat comment box ya!

Sampai jumpa di posting berikutnya and have a lovely day!

*Image courtesy of http://kachitchat.yolasite.com