Thursday, September 25, 2014

Mengimani yang tidak kelihatan


Tetapi seperti ada tertulis: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia."

~ 1 Korintus 2:9 ~

Saya pernah baca kutipan yang kurang lebih bunyinya: iman sejati berdiri di atas keragu-raguan. Masuk akal, bukan? Iman itu memercayai sesuatu yang tidak kelihatan, atau belum terbukti. Iman itu adakalanya memilih untuk tetap percaya, walau tidak ada alasan untuk percaya. Menurut pandangan saya pribadi, keraguan itu sah saja. Seorang Petrus pun pernah tenggelam ketika berjalan di atas air bersama Yesus, karena keyakinannya goyah di tengah jalan. Bahkan ketakutan Petrus sekali pun, yang membuatnya menyangkal Yesus, tidak menghalangi perjalanannya bersama Tuhan hingga ia menjadi pemimpin jemaat mula-mula.

Iman yang tidak pernah melalui keraguan justru berbahaya, karena ia tidak siap akan perubahan yang bisa menghancurkan segala pilar keyakinan seorang manusia yang terbatas. Ia tidak menyadari kerentanannya di ambang batas rasa aman yang dijanjikan 'dunia' (jaminan finansial, kebersamaan keluarga, kesehatan, atau apa pun itu). Bisa jadi, ia bahkan belum mengenal kasih karunia yang sesungguhnya.

Berteguh di dalam iman bukan hal yang mudah. Bahkan berisiko. Contoh sederhananya, bagaimana mungkin kita tetap mengimani Tuhan yang baik, bahkan mukjizat kesembuhan, sementara Alkitab sendiri, di satu bagian mengungkapkan bahwa tidak semua orang disembuhkan, sambil di bagian lain mengatakan bahwa '.. Yesus menyembuhkan mereka semuanya'. Bagaimana kita harus berdoa? Dengan berharap-harap cemas apakah kita termasuk kategori yang 'mungkin tidak disembuhkan' atau kategori 'mereka semuanya'? Apakah dengan keyakinan penuh, tetapi juga sadar bahwa semakin kita berharap akan sesuatu, semakin dalam kekecewaan kita jika harapan kita tidak dipenuhi? Bukankah itu sebuah paradoks?

Dalam perjalanan hidup saya, tidak ada yang lebih memedihkan hati daripada melihat orang tua terbaring sakit dan menderita hingga akhir hidupnya. Ketiga orang tua saya (termasuk ibu tiri) kesemuanya adalah orang percaya, dan sepanjang hidupnya telah memperlihatkan integritas orang percaya yang hidupnya selaras dengan kebenaran. Ibu kandung saya meninggal relatif cepat setelah diharuskan menjalani cuci darah. Ayah saya bertahan lebih lama dengan kondisi gagal ginjal dan menjalani cuci darah seperti ibu kandung saya. Namun, tidak seperti ibu kandung saya yang cepat melemah secara fisik dan mental, iman ayah saya terus menyala-nyala, bahkan sementara kondisinya menurun, beliau tetap mengimani kesembuhan dari Tuhan. Suatu hari beliau menyatakan impiannya kembali mengemudikan mobil jika Tuhan menyembuhkan beliau. Demikian halnya dengan ibu tiri saya, yang mengimani firman yang mengatakan: '.. Masa hidup kami 70 tahun dan jika kami kuat, 80 tahun..'

Tidak ada yang lebih memedihkan hati daripada melihat ibu kandung saya menderita dengan kondisi tubuh yang kurus, lemah, berbicara menceracau karena level ureum di dalam darah yang tinggi, dengan luka lebar menganga di bagian bawah punggungnya karena terlalu lama berbaring. Dan akhirnya melihat tubuhnya didorong di atas brankar dengan cairan warna coklat mengalir di selang yang keluar dari tubuhnya yang tidak bernyawa lagi. Tidak ada yang lebih mengusik tanda tanya tentang iman dan mukjizat daripada ironi iman akan kesembuhan yang dijawab dengan kematian, seperti terjadi pada ayah saya setelah terbaring koma beberapa hari. Tidak ada yang lebih menyesakkan selain ketika saya menggenggam tangan ibu tiri saya yang menahan rasa sakit yang hebat saat suster membersihkan luka yang begitu dalam akibat kanker. Ibu yang begitu setia melayani, ibu yang tidak henti-hentinya mengatakan, 'Tuhan Yesus baik' hingga hari-hari terakhir hidupnya. Ibu yang mengimani umurnya akan mencapai 70-80 tahun. Tidak ada yang meninggalkan rasa hampa yang janggal dan nyaris tak dikenali selain ketika saya melihat tubuhnya terbujur kaku di usia 64 tahun, sebelum suster memindahkannya dari tempat tidur ruang rawat inap untuk dimandikan.

Siang itu, hampir 8 tahun yang lalu, otak saya berputar, berusaha memproses apa yang telah terjadi. Apakah artinya iman dan percaya? Saya terus berusaha menemukan jawaban. Sepertinya saya bahkan tidak memercayai Tuhan lagi saat itu. Akan tetapi, setelah sekian lama bertanya jawab dengan diri saya sendiri, akhirnya saya menemukan jawaban yang cukup melegakan. Bukan karena jawaban itu membawa pencerahan, tetapi setidaknya itu jawaban sederhana yang paling masuk akal. Baiklah. Kalau beliau (ibu tiri saya) memang harus menderita kanker hingga menemui ajalnya, adalah lebih baik beliau melalui hari-hari terakhirnya dengan hati yang terhibur dan berpengharapan, dengan keyakinan akan kebaikan Tuhan yang beliau imani, daripada beliau harus menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan amarah, frustrasi, penderitaan fisik yang hebat dan rasa tidak terima, dipenuhi kesesakan dan kesengsaraan batin. Saya membayangkan betapa buruknya alternatif yang kedua itu! At least, this is a better way to leave this perishable world, despite all her pain and illness. She passed away peacefully. Dengan segala paradoks dan keanehannya, adakalanya iman justru jawaban yang paling masuk akal.

Hari-hari ini saya tengah mengalami kegundahan yang amat familiar tetapi sulit saya ungkapkan. Saya amat bahagia, dan saya mengalami begitu banyak berkat yang membuat hidup saya begitu menyenangkan. Bahkan bulan-bulan ini adalah bulan-bulan paling bahagia dalam seumur hidup saya, setidaknya mungkin semenjak kepergian ibu kandung saya, yang diikuti masa tempaan dan pergumulan yang panjang. Untuk beberapa waktu, saya bisa mencicipi kelegaan dan ketenangan. Dan saya sadar betapa jauhnya Tuhan telah bekerja memulihkan saya. Namun, di sisi lain, ada sebuah rongga yang membuat saya merasa tidak pernah utuh. Dan saya letih berjalan dengan 'ketimpangan' itu. Saya letih bernegosiasi antara harapan, kenyataan, dan tarik-ulur di antara keduanya. Saya letih berpegang pada apa yang tidak kelihatan.

Saya tahu saya harus membangun jembatan iman untuk meloncat ke tanah perjanjian, dan saya harus terus melangkah di atas sungai ketidakpastian yang mengalir di bawahnya. Di tengah perjalanan jembatan itu kian bergoyang-goyang, dan semakin saya berusaha meyakinkan diri akan bilah-bilah kokoh yang tengah saya tapaki, semakin bilah-bilah itu terlihat rapuh dan tidak meyakinkan. Namun, keindahan kota baru di seberang sana terus memanggil. Dan entah bagaimana, saya merasa genggaman tanganNya kian erat dan hangat. 'Jangan takut, anakKu, Aku akan menggandeng tanganmu erat-erat sampai di seberang.'

Monday, September 1, 2014

Metamorfosis

Waktuku hampir tiba
Aku sudah melihat cahaya itu
Aku harus segera keluar
Namun aku begitu terikat
Kepompong ini sangat ketat
Dan aku tak mampu bergerak menerobos

Bolehkah aku menyerah sekarang?
Dengan sisa nafas ini kuberdoa
Biar kehendakMu yang terjadi
Aku tak mampu bergerak menuju cahaya itu
Namun waktuku sudah tiba
Jika aku berlambat, maka maut pun telah menanti

Sayapku begitu lemah
Aku tertatih beringsut menuju cahaya itu
Bolehkah aku menyerah sekarang?
Aku nyaris kehabisan tenaga
Namun aku harus segera keluar
Oksigen akan menguatkan sayap basah ini
Oksigen akan mengembangkan sayap ini
Dan aku pasti mampu terbang dalam wujudku yang baru

Tuhan,
Aku mohon bukalah jalan keluar kepompong ini
Sambil berdoa, kucoba bergerak lagi
Dengan harapan agar kali ini aku dapat meraih cahaya itu