Monday, November 11, 2013

Orang dari Luar Kota


Lama juga, ya, ngga posting di sini. Hehe… Apa kabarnya, chocotalker?

Jadi, beberapa minggu lalu, saya dan ibu saya memutuskan kebaktian ke GKI Kebayoran. Tadinya rencana ke gereja tersebut juga gara-gara terlambat kalau ke gereja yang lebih dekat. :D

Di tengah perjalanan naiklah dua orang ke dalam bis. Dan dengan sopan mereka bertanya, “Mau ke gereja, ya?” Singkat cerita, akhirnya mereka ikut ke gereja tujuan kami. Iya, hal ini di luar rencana kami, tentu.

Mereka bukan dari Jakarta, dan tidak tahu di mana gereja yang belum mulai kebaktian. Sepanjang perjalanan setelah turun dari kendaraan, mereka bercerita tentang gereja di tempat asal mereka, Papua. Pembicaraan terasa wajar-wajar saja. Saya jadi teringat beberapa pertemuan yang terjadi secara kebetulan seperti tadi.

Seperti ketika seorang perempuan, kurang lebih usianya sama dengan saya datang dari Batam, dengan ramahnya dia lebih dahulu membuka pembicaraan. Tidak lama kami bisa segera bercakap-cakap tentang hal yang melintas di kepala. Cerita tentang kegiatan dia sendiri, tanpa kesan menyelubungi identitas layaknya orang tidak percaya lawan bicaranya. Padahal kami baru saja ketemu.

Saya sebetulnya menyadari sifat saya yang tertutup yang juga sudah lebih dulu merajai. Namun rupanya ada ide untuk menaklukan sifat ‘tidak mau tahu orang lain’ meski dalam hati merasa diingatkan, bahwa kami baru saja kenal. Saya tidak ingin terlalu asik dengan diri sendiri juga. Siapa yang tahu waktunya harus mengalahkan ego? Kesempatan itu membuat saya berpikir, mungkin temperamen saya yang sebagian juga extrovert, mengizinkan kemungkinan itu. Mungkin juga tuntutan pekerjaan untuk bertemu orang-orang yang sudah membiasakan. Saya merasa senang bertemu orang yang jujur, tulus dan tidak ‘akal-akalan’, di samping juga tetap merasa perlu untuk mengamati.

Jam ibadah selesai, akhirnya kami berpisah dengan saling memberikan salam. Mereka hendak bertemu teman mereka di tempat lain, dan saya pulang bersama ibu saya. Melihat mereka melangkah semakin jauh di depan, sambil ngobrol mengenai apa yang baru saja kami alami, saya membayangkan seandainya diri saya ada di posisi mereka.

Seringkali yang diperlukan untuk mengalahkan rasa takut; takut ditolak, takut tidak dipercaya sebagai orang asing, atau rasa sungkan berpapasan dengan orang tidak dikenal, adalah menghadapi risiko. Mereka yang mendekati saya lebih dulu tampaknya orang-orang yang berkepribadian kuat. Mereka berasal dari luar kota ini, tapi justru lebih percaya diri. Mungkin saja ada sifat pemalu yang mereka kalahkan dahulu demi mencari tahu di mana gereja yang mereka cari-cari.

Bepergian bisa jadi merupakan cara keluar dari persembunyian yang nyaman.

*Image courtesy of http://theresecharles.com