Monday, January 13, 2014

Tanaman Hias di Mall



Hanya bernaung di label harga lima ribu rupiah saja. Tidak terlihat mewah, hanya sebuah tanaman kaktus mini dengan duri secukupnya. Mini kaktus ini terletak manis di etalase toko ini. Aku ingin membelinya namun aku tidak yakin dapat memeliharanya. Melihat mini kaktus itu membuatku teringat akan beberapa orang yang cukup unik namun sangat berharga dan salah satunya adalah dia.

Tidak semarak bila dibandingkan dengan barang-barang lainnya yang dipajang di etalase mall namun keunikannya terpancar dari kesederhanaannya yang bersahaja. Demikian pula dengan tokoh artikel ini, tidak tergolong rupawan namun keberadaannya bagaikan garam dalam sepanci sup. Tidak terlalu diperhatikan keadaannya, namun sangat berpengaruh bila ketiadaan menyelubunginya.

Di kantor ini dia kerap kali menampung curahan amarah dari atasan. Ada saja yang menjadi topik pelampiasan emosi dari atasannya, walau bila kita cermati dia sudah berusaha memberikan yang terbaik dari dirinya yang penuh keterbatasan. Usianya sudah tergolong cukup senior, namun keadaanlah yang memaksanya untuk tetap bertahan di kantor yang kurang manusiawi ini.

Mengantar dan mengambil barang-barang berat namun dia tidak boleh mengklaim biaya kuli angkut sedikitpun. Sering mendapat cacian karena dia terjebak kemacetan ibukota, entah menggunakan perhitungan darimana, namun dia harus berkeliling Jakarta dalam waktu satu hari dan semua tugas-tugas harus selesai tanpa ada cacat sedikitpun. Bila terjadi kesalahan, maka kalimat-kalimat yang pedas akan menjadi konsumsi dirinya padahal aku meragukan apakah atasannya mengetahui orang ini belum makan seharian demi memenuhi semua tuntutan tugas yang sedikit kurang masuk logika. Jam kerjanya pun tidak seperti jam kerja pegawai pada umumnya, dia dapat pulang tepat waktu namun bila atasan berkehendak maka tengah malam pun dia masih berkutat mengurusi pekerjaannya.

Tokoh cerita artikel ini cukup sabar dan hanya dapat berdoa sambil tersenyum menghadapi segala tantangan hidup ini. Dia tidak dapat berhenti kerja karena hanya dia satu-satunya yang bekerja sementara istrinya sering masuk rumah sakit dan mereka tidak memiliki seorang anakpun.

Saat aku melakukan wawancara mengenai kehidupan dan karirnya, tokoh ini hanya dapat berkata lirih, “Semua ada waktunya, aku hanya dapat berusaha bertahan hidup. Aku percaya Tuhan tidak selamanya membiarkan umatNya ditindas. Jika ada kesempatan, aku ingin keluar dari kantor ini, punya usaha sendiri tanpa harus menikmati omelan dari orang seperti nyonya besar. Aku harus dapat bertahan disini walau ada beberapa orang yang sangat ingin membuatku mengundurkan diri dari kantor ini.”

Ucapan sederhana yang cukup menemplak hati dan kesadaranku.

Sudahkah aku sabar seperti itu?
Setiap menghadapi tantangan dari rekan kerja yang menyebalkan, aku hanya dapat bekerja sambil mengeluh. Setiap diharuskan melepaskan waktu personal demi mengerjakan lembur, aku hanya dapat bekerja sambil menahan marah. Aku tidak mengerjakan semuanya itu dengan kasih, tidak dengan maksimal, apalagi dengan tersenyum seperti orang ini.

Sudahkah aku berserah pada Tuhan seperti orang ini?
Saat aku mengetahui ada yang mendapat promosi dan kenaikan gaji yang di luar logika, aku hanya dapat meradang dan berpikir keras atas ketidak adilan ini. Aku tidak mengoptimalkan kinerjaku, malah aku merasakan kemalasan semakin menjalari diri ini.

Sudahkah aku menjadi pembawa damai bagi komunitasku?
Saat aku melihat ketidak adilan menimpa tokoh cerita artikel ini, dalam hati aku sangat tidak terima, namun dia malah menenangkan diriku sambil mengingatkan akan keadilan Tuhan. Ketidak adilan demi ketidak adilan terus menimpa tokoh cerita artikel ini, namun dia tidak berontak sedikitpun. Bila aku menjadi dirinya, mungkin aku sudah mengundurkan diri dan mencari mata pencaharian yang baru.

Ya, aku banyak belajar dari tokoh ini. Melalui kesederhanaannya dalam menikmati segala penderitaan hidup, aku belajar untuk senantiasa mengucap syukur dan tekun berusaha. Dan bila aku tidak dapat bertumbuh ataupun membuahkan karya di tempat ini, maka aku akan berkelana ke tempat dimana aku dapat diterima sebagai bagian dari komunitas dan memberkati komunitas tersebut dengan keberadaan diri ini. Aku berjanji akan senantiasa mengendalikan emosi dan perasaan agar kelak aku pun dapat memberi teladan bagi orang lain, sama seperti tanaman hias di mall yang senantiasa tampil segar walau dilingkupi udara AC yang dingin.

*Image courtesy of: http://www.yunphoto.net

1 comment:

  1. Artikel yang sangat memberkati , Saya juga sering juga dalam pekerjaan ya diomelin Bos, merasakan ketidak adilan , kerja di hari yang seharusnya libur . kepikiran pengen pindah kerja tetapi kerja dimana pun sama saja kita ketemu ketidak adilan.

    Ada Satu yang perlu diingat kita kerja ini untuk apa ? Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja , ya ini sih kerja stress , tetapi cobalah ubah mindset anda , Cari kerja untuk memenuhi kebutuhan hidul benar tetapi harus ada satu hal yang membuat Anda bersemangat kerja , salah satunay passion Anda saat Anda bekerja, contoh ,Saya bekerja karena bidang dimana Say kerja merupakan hobi Saya , atau Saya bekerja karena Saya ingin menjadi berkat untuk banyak orang , Saya kerja demi keluarga yang Saya kasihi dan sebagainya, Saya percaya jika ada semngat kewrja selain hanya memnuhi kebutuhan hidup Saja , Saya percaya Anda tetap bertahan.

    ReplyDelete