Hanya
bernaung di label harga lima ribu rupiah saja. Tidak terlihat mewah, hanya
sebuah tanaman kaktus mini dengan duri secukupnya. Mini kaktus ini terletak
manis di etalase toko ini. Aku ingin membelinya namun aku tidak yakin dapat memeliharanya.
Melihat mini kaktus itu membuatku teringat akan beberapa orang yang cukup unik
namun sangat berharga dan salah satunya adalah dia.
Tidak semarak
bila dibandingkan dengan barang-barang lainnya yang dipajang di etalase mall namun
keunikannya terpancar dari kesederhanaannya yang bersahaja. Demikian pula
dengan tokoh artikel ini, tidak tergolong rupawan namun keberadaannya bagaikan
garam dalam sepanci sup. Tidak terlalu diperhatikan keadaannya, namun sangat
berpengaruh bila ketiadaan menyelubunginya.
Di kantor ini
dia kerap kali menampung curahan amarah dari atasan. Ada saja yang menjadi
topik pelampiasan emosi dari atasannya, walau bila kita cermati dia sudah
berusaha memberikan yang terbaik dari dirinya yang penuh keterbatasan. Usianya
sudah tergolong cukup senior, namun keadaanlah yang memaksanya untuk tetap
bertahan di kantor yang kurang manusiawi ini.
Mengantar dan
mengambil barang-barang berat namun dia tidak boleh mengklaim biaya kuli angkut
sedikitpun. Sering mendapat cacian karena dia terjebak kemacetan ibukota, entah
menggunakan perhitungan darimana, namun dia harus berkeliling Jakarta dalam
waktu satu hari dan semua tugas-tugas harus selesai tanpa ada cacat sedikitpun.
Bila terjadi kesalahan, maka kalimat-kalimat yang pedas akan menjadi konsumsi
dirinya padahal aku meragukan apakah atasannya mengetahui orang ini belum makan
seharian demi memenuhi semua tuntutan tugas yang sedikit kurang masuk logika.
Jam kerjanya pun tidak seperti jam kerja pegawai pada umumnya, dia dapat pulang
tepat waktu namun bila atasan berkehendak maka tengah malam pun dia masih
berkutat mengurusi pekerjaannya.
Tokoh cerita
artikel ini cukup sabar dan hanya dapat berdoa sambil tersenyum menghadapi
segala tantangan hidup ini. Dia tidak dapat berhenti kerja karena hanya dia
satu-satunya yang bekerja sementara istrinya sering masuk rumah sakit dan
mereka tidak memiliki seorang anakpun.
Saat aku
melakukan wawancara mengenai kehidupan dan karirnya, tokoh ini hanya dapat
berkata lirih, “Semua ada waktunya, aku hanya dapat berusaha bertahan hidup.
Aku percaya Tuhan tidak selamanya membiarkan umatNya ditindas. Jika ada
kesempatan, aku ingin keluar dari kantor ini, punya usaha sendiri tanpa harus
menikmati omelan dari orang seperti nyonya besar. Aku harus dapat bertahan disini
walau ada beberapa orang yang sangat ingin membuatku mengundurkan diri dari
kantor ini.”
Ucapan
sederhana yang cukup menemplak hati dan kesadaranku.
Sudahkah aku
sabar seperti itu?
Setiap
menghadapi tantangan dari rekan kerja yang menyebalkan, aku hanya dapat bekerja
sambil mengeluh. Setiap diharuskan melepaskan waktu personal demi mengerjakan
lembur, aku hanya dapat bekerja sambil menahan marah. Aku tidak mengerjakan
semuanya itu dengan kasih, tidak dengan maksimal, apalagi dengan tersenyum seperti
orang ini.
Sudahkah aku
berserah pada Tuhan seperti orang ini?
Saat aku
mengetahui ada yang mendapat promosi dan kenaikan gaji yang di luar logika, aku
hanya dapat meradang dan berpikir keras atas ketidak adilan ini. Aku tidak
mengoptimalkan kinerjaku, malah aku merasakan kemalasan semakin menjalari diri
ini.
Sudahkah aku
menjadi pembawa damai bagi komunitasku?
Saat aku
melihat ketidak adilan menimpa tokoh cerita artikel ini, dalam hati aku sangat
tidak terima, namun dia malah menenangkan diriku sambil mengingatkan akan
keadilan Tuhan. Ketidak adilan demi ketidak adilan terus menimpa tokoh cerita
artikel ini, namun dia tidak berontak sedikitpun. Bila aku menjadi dirinya,
mungkin aku sudah mengundurkan diri dan mencari mata pencaharian yang baru.
Ya, aku
banyak belajar dari tokoh ini. Melalui kesederhanaannya dalam menikmati segala
penderitaan hidup, aku belajar untuk senantiasa mengucap syukur dan tekun
berusaha. Dan bila aku tidak dapat bertumbuh ataupun membuahkan karya di tempat
ini, maka aku akan berkelana ke tempat dimana aku dapat diterima sebagai bagian
dari komunitas dan memberkati komunitas tersebut dengan keberadaan diri ini.
Aku berjanji akan senantiasa mengendalikan emosi dan perasaan agar kelak aku
pun dapat memberi teladan bagi orang lain, sama seperti tanaman hias di mall
yang senantiasa tampil segar walau dilingkupi udara AC yang dingin.
*Image courtesy of: http://www.yunphoto.net
*Image courtesy of: http://www.yunphoto.net
Artikel yang sangat memberkati , Saya juga sering juga dalam pekerjaan ya diomelin Bos, merasakan ketidak adilan , kerja di hari yang seharusnya libur . kepikiran pengen pindah kerja tetapi kerja dimana pun sama saja kita ketemu ketidak adilan.
ReplyDeleteAda Satu yang perlu diingat kita kerja ini untuk apa ? Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja , ya ini sih kerja stress , tetapi cobalah ubah mindset anda , Cari kerja untuk memenuhi kebutuhan hidul benar tetapi harus ada satu hal yang membuat Anda bersemangat kerja , salah satunay passion Anda saat Anda bekerja, contoh ,Saya bekerja karena bidang dimana Say kerja merupakan hobi Saya , atau Saya bekerja karena Saya ingin menjadi berkat untuk banyak orang , Saya kerja demi keluarga yang Saya kasihi dan sebagainya, Saya percaya jika ada semngat kewrja selain hanya memnuhi kebutuhan hidup Saja , Saya percaya Anda tetap bertahan.