Wednesday, April 9, 2014

Seri Kisah Pengusaha: Sejarah Taksi Blue Bird (Bagian 1)


Gara-gara banjir, suatu hari gw terjebak kemacetan di Jl Mampang Prapatan dalam perjalanan menuju kantor. Daripada menggerutu bete, gw iseng perhatiin situasi di sekitar. Lalu terlihatlah pool Blue Bird yang sebenernya sering gw lewatin, tapi sebelumnya ngga pernah memunculkan inspirasi apa-apa. Entah kenapa di hari itu tiba-tiba muncul rasa penasaran, gimana sih sejarahnya perusahaan ini?

Gw termasuk pelanggan setia taksi Blue Bird, dan sejauh ini gw cukup puas dengan layanannya. Ngeliat Blue Bird yang jumlah armadanya terus bertambah, fasilitasnya cukup diperhatikan, dan ngga segan2 invest untuk teknologi baru (misalnya GPS, di jaman GPS belum booming seperti beberapa tahun terakhir), gw dulunya berasumsi kalau Blue Bird ini pasti dari awalnya didirikan dengan modal kuat didukung fasilitas lengkap. Maka itu dia bisa survive sekian lama dan tetap memimpin di dunia transportasi, khususnya layanan taksi. Sepengetahuan gw, pengemudi2 Blue Bird relatif lebih sejahtera atau mendapat imbalan yang lebih layak dibanding perusahaan taksi lain. Intinya, dari layanan mereka, pelanggan juga bisa merasakan kalau perusahaan ini dikelola dengan baik, sepenuh hati, dan nggak asal2-an.

Tapi, dengan fasilitas dan layanan ok itu, benarkah asumsi gw bahwa Blue Bird didirikan dengan 'mudah' didukung modal yang kuat? Uhmm.. setelah gw tanya2 mbah Gugel dan baca2 beberapa sumber yang keluar, barulah gw sadar ternyata asumsi gw keliru!

Blue Bird bukan didirikan pengusaha kaliber kakap dengan modal melimpah. Sebaliknya, berdirinya Blue Bird diprakarsai seorang wanita sederhana yang baru saja ditinggalkan suaminya yang wafat karena sakit. Wanita itu adalah almarhumah Ny. Mutiara Djokosoetono.

Bu Djoko lahir pada tanggal 17 Oktober 1921 di tengah keluarga berada, namun pada usia 5 tahun keluarganya bangkrut. Ia meniti bangku sekolah dalam kesederhanaan luar biasa. Makanan yang tak pernah cukup, pakaian seadanya, tak pernah ada uang jajan. Hidupnya betul-betul bertumpu pada kekuatan untuk tabah. Menginjak remaja ketegarannya semakin terasah. Ia pun bertekad memperkaya diri dengan ilmu dan kepintaran. Di saat sulit itu ia suka membaca kisah-kisah inspiratif yang ia peroleh dengan meminjam, salah satunya adalah kisah legendaris yang selalu menghiburnya: 'Kisah Burung Biru' atau 'The Bird of Happiness'.

Usai menyelesaikan pendidikan HBS dan lulus Sekolah Guru Belanda, Bu Djoko memutuskan merantau ke Jakarta dan berhasil masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kemudian jalan hidup mempertemukannya dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya, sekaligus pendiri serta Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Mereka menikah ketika Bu Djoko masih kuliah.

Bu Djoko dikaruniai 3 anak yaitu Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro. Sepanjang dasawarsa 50-an, Bu Djoko menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Ia dan keluarganya menempati rumah dinas atas pekerjaan suaminya di kawasan Menteng. Walau dikelilingi lingkungan yang mewah dengan status ekonomi di atas rata-rata, keluarga Djokosoetono praktis hanya memiliki uang kebutuhan berjalan. 

Untuk menambah penghasilan keluarga, Bu Djoko berjualan batik door to door. Tak ada gengsi, tak ada malu, tak ada rasa takut direndahkan oleh sesama isteri pejabat tinggi. Semuanya dilakukan murni sebagai kepedulian isteri untuk membantu suami mencari nafkah. Namun penjualan batik yang sempat sukses kemudian menurun. Bu Djoko pun berganti haluan menjadi penjual telur. Saat itu telur belum sepopuler sekarang dan dianggap bahan makanan eksklusif yang hanya dikonsumsi orang-orang menengah ke atas. Bu Djoko mencari pemasok telur terbaik di Kebumen dan perlahan-lahan usaha telur Bu Djoko dan keluarga terus meningkat. 

Akan tetapi, kegembiraan atas keberhasilan usaha ini tidak berlangsung lama, karena kesedihan memikirkan sakit Pak Djoko yang tak kunjung sembuh. Walau mendapat perawatan yang ditunjang sepenuhnya oleh pemerintah, akhirnya beliau wafat pada tanggal 6 September 1965.

Bagaimana Bu Djoko menghadapi masa sulit ini dan akhirnya mendirikan layanan taksi Blue Bird? Nantikan di entry berikutnya, ya..

No comments:

Post a Comment